Home – SDGs for All

A project of the Non-profit International Press Syndicate Group with IDN as the Flagship Agency in partnership with Soka Gakkai International in consultative status with ECOSOC

Watch out for our new project website https://sdgs-for-all.net

Timor Leste: Pendapatan dari Minyak Gagal Mengatasi Masalah Kurang Gizi Pada Anak

share
tweet
pin it
share
share

Oleh Annamarie Reyes

DILI, Timor Leste (IDN) — Negara demokrasi paling baru di dunia yakni Timor Leste saat ini menghadapi lonjakan kasus omicron setelah menjadi salah satu negara teraman dari Covid. Timor Leste berhasil mengelola pandemi dengan cukup baik, tetapi hal sebaliknya justru terjadi untuk masalah kurang gizi pada anak.

Masalah ini terus menghantui Timor Leste selama beberapa dekade setelah merdeka, persentase masalah kurang gizi pada anak mencapai 53-57% di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun.

“Kekurangan nutrisi yang tepat dapat berakibat buruk bagi kesehatan, pendidikan, produktivitas, dan kapasitas anak-anak Timor Leste di masa depan,” badan yang berbasis di Dili menuturkan. La’o Hamutuk—Institut Pengawasan dan Analisis Pembangunan Timor Leste. Mereka meyakini bahwa anak-anak di Timor Leste tidak memiliki akses untuk mendapatkan makanan bergizi yang cukup dan oleh karena itu, masalah ini memiliki dampak yang besar pada generasi berikutnya.

Analisis mereka sendiri menyatakan: “Situasi ini sangatlah rumit dan tidak mudah untuk diselesaikan. Ketersediaan makanan bergizi diperparah lantaran produksi pertanian bukan merupakan prioritas nasional, dan karena mahalnya biaya makanan bergizi.”

Laporan terbaru dari Indeks Kelaparan Global (GHI), menunjukkan bahwa Timor Leste memiliki tingkat kelaparan yang “mengkhawatirkan”, hanya satu tingkat di bawah “sangat mengkhawatirkan” di tangga dunia.

Di antara 107 negara yang disurvei, Timor Leste berada di urutan ke-106, memerlukan tindakan segera, dengan Chad sebagai negara yang menghadapi situasi yang lebih parah. Perkiraan Program Pangan Dunia juga menunjukkan 1-2% dari PDB yang hilang karena kekurangan gizi setiap tahun, di antara populasi 1,3 juta orang.

“Ini bukan hanya tentang malnutrisi parah; anak-anak kita menderita diare, dan tidak memiliki akses untuk mendapatkan air dan sanitasi yang layak,” tutur Peneliti Ekonomi dan Keuangan Negara La’o Hamutuk, Eliziar Febes Gomes kepada IDN.

Demografi Timor Leste dan Survei Kesehatan tahun 2016 menunjukkan hanya 50% rumah tangga yang memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas sanitasi yang lebih baik dan hanya 58% orang di daerah pedesaan yang memiliki akses ke air minum di dalam atau di dekat rumah mereka.

Masalah kurang gizi pada anak kerap kali merupakan akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai dari segi kuantitas serta kualitas dan biasanya akan terjadi dalam jangka waktu yang lama. Di Timor Leste, masalahnya berawal dari perempuan dan laki-laki yang sudah memasuki usia subur; yang pada awalnya menderita kekurangan gizi di masa pertumbuhan atau kurang gizi dari generasi sebelumnya.

Konsumsi makanan yang tidak memadai yang terus-menerus menghantui warga Timor Leste telah dikaitkan dengan produktivitas pertanian yang rendah, sumber mata pencaharian yang langka, sanitasi yang buruk, air, irigasi, kesehatan, dan sistem infrastruktur serta keamanan keuangan jangka panjang yang buruk.

Pemuda Timor angkat bicara

Kepedulian La’o Hamutuk terhadap anak-anak dan kaum muda di negara ini tecermin dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar pemuda Timor.

Tichya Gusmao yang keluarganya bermata pencaharian dari mengolah tanah di kawasan pedesaan Timor mencoba melakukan bagiannya. “Saya telah mengikuti kegiatan hortikultura di desa kami, di mana saya akan membagikan ilmu yang telah saya pelajari seputar nutrisi dan pertanian kepada komunitas saya untuk membantu memperbaiki masalah pangan yang dihadapi kaum muda Timor,” ujarnya kepada IDN.

Di sisi lain Dili, di Viqueque yang sangat jauh, Elzita berjuang keras untuk menemukan komputer sehingga dia bisa menyelesaikan tugas sekolahnya. “Di masa-masa sulit, kami hanya makan apa yang tersedia di pertanian. Orang tua saya mendapatkan penghasilan dengan menjual buah-buahan dan sayuran di pasar. Saya mempelajari seputar kesehatan ibu dan ingin membantu kaum muda kita untuk merawat anak-anak serta bayi yang baru lahir.”

Ade bercita-cita menjadi dokter hewan dan magang di klinik hewan. Dia mengatakan bahwa sumber pendapatan utama keluarganya adalah melalui produksi pertanian. “Akan tetapi, sektor ini memiliki pendapatan yang buruk di Timor Leste. Dia ingin pemerintah membantu kaum muda dengan kebutuhan dasar dan tidak sepenuhnya bergantung pada cadangan minyak bumi karena “itu bisa habis kapan saja.”

Sentimen serupa membayangi dan menanti Eugenia dan juga Leao di masa depan.

Eugenia aktif di pusat pemuda setempat di kawasan Bacau Selatan, “Sebagai remaja putri saya ingin melihat apa yang bisa saya lakukan untuk berkontribusi dalam membantu orang lain dan tidak hanya berpangku tangan di rumah.” Leao Carvalho menyeimbangkan peran antara nutrisi dan pekerjaan sipil kaum muda secara sukarela. “Kita harus memberdayakan komunitas kita untuk menjadikan tanah kita lebih produktif.”

Semuanya berusia sekitar 20-an yang mencerminkan mayoritas penduduk muda Timor Leste dengan rata-rata penduduk dewasa berusia 35 tahun.

Berdasarkan laporan Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) terbaru hingga tahun 2023, “risiko dan bahaya iklim” juga memiliki peran yang sangat besar. Selama April 2021, negara tersebut diterjang topan super dahsyat yang menyebabkan rumah, layanan, bangunan, dan jalan rusak total. Lebih dari 13.000 orang mengungsi, 44.000 rumah tangga terkena dampaknya, dan 50 orang meninggal akibat topan Seroja.

Sementara itu, jumlah korban dari pandemi dengan 156 kasus terbaru, menambah masalah yang ada. Kurang dari 20.000 orang telah dinyatakan positif covid pada tahun 2021.

Cadangan minyak dan gas semakin menipis

Charles Scheiner, Peneliti di La’o Hamutuk telah menulis sebuah laporan yang mengangkat keprihatinan terkait ketergantungan besar Timor Leste pada sumber daya ekstraktif minyak dan gas.

 “Timor Leste merupakan salah satu negara yang paling bergantung pada minyak bumi di dunia dengan pendapatan negara yang dihasilkan melalui ekspor minyak dan gas. Tetapi itu bukan karena Timor Leste memiliki minyak dan gas yang berlimpah, melainkan karena jenis sumber daya lainnya sangat sedikit. Jadi, penghasilan yang diperoleh dari minyak dan gas paling besar digunakan untuk pembelanjaan negara, yakni sekitar 86% selama 20 tahun terakhir. Sebagai contoh, sistem sekolah dan banyak hal lain yang bermanfaat bagi anak-anak, seperti program gizi, walaupun tidak sebaik yang kita harapkan,” ujar Scheiner.

Menurut Scheiner, penduduk Timor Leste yang didominasi anak muda sebagian besar lahir setelah pendudukan Indonesia berakhir 21 tahun yang lalu. Tetapi sebagian besar masyarakatnya tinggal di daerah pedesaan yang tumbuh dengan makanan, pendidikan, dan dukungan kesehatan yang tidak memadai, dengan prospek pekerjaan yang sangat kecil.

Hanya seperempat dari 820.000 orang usia kerja yang berada di sektor ekonomi formal: sebagian besar berada di bidang konstruksi dan administrasi publik. Pekerjaan yang ada di Dili berkaitan dengan industri minyak dan gas. Sebagian besar penduduk lainnya bergantung pada pekerjaan informal di bidang pertanian, perkebunan, atau perikanan.

Ada sedikit manfaat yang diperoleh dari cadangan minyak dan gas bagi sebagian besar penduduk. “Untuk 10-15 persen kelas menengah dan kelas atas, kehidupan mereka telah meningkat secara signifikan,” catat Scheiner. “Tetapi jika Anda mengukur lebih dari 40% orang yang berada di bawah garis kemiskinan, kehidupan mereka tidak mengalami banyak perubahan”.

Uang yang telah dikeluarkan pemerintah digunakan untuk membayar pegawai negeri, atau kantor infrastruktur untuk gedung-gedung pemerintah, di Dili, yang membantu orang-orang yang lebih kaya. PNS dianggap sebagai kalangan atas.

Tetapi sebagian besar orang Timor berprofesi sebagai petani subsisten, dan mereka tidak menghabiskan banyak uang untuk itu. “Lebih dari separuh uang yang dikeluarkan pemerintah telah dibelanjakan ke luar negeri, untuk mengimpor barang atau membayar perusahaan asing untuk menjalankan proyek,” ujar Scheiner.

La’o Hamutuk telah menunjukkan melalui penyelidikan mereka sendiri bahwa sumber daya tak terbarukan semakin menipis, dan juga sangat mahal untuk diproduksi, di mana investor mungkin mendapati bahwa sumber daya tersebut tidak lagi ekonomis untuk diproduksi. Ledakan sumber daya sekitar tahun 2005-12 yang menghasilkan 23 miliar dolar AS telah habis.

Saat ini, 86% pengeluaran negara berasal dari cadangan minyak bumi dan pada tingkat di mana ekstraksi minyak dan gas dapat habis dalam beberapa tahun. Lokasi eksplorasi utama Bayu-Undan hampir kehabisan sumber daya yang tersisa.

“Sudah ada 2 sumur uji yang dibor beberapa bulan lalu. Satu sumur darat di wilayah Timor Leste, sumur darat pertama dalam 50 tahun terakhir. Dan yang satunya lagi berada di lepas pantai di ladang yang dijalankan oleh perusahaan kecil Australia. Mereka mengira ada lebih banyak minyak bisa diperoleh dari sana. Dan ternyata keduanya tidak komersial.  Perusahaan telah memutuskan untuk tidak melanjutkannya,” Scheiner menuturkan.

Sementara itu, Gomes menyayangkan kenyataan bahwa meskipun mereka telah melakukan lobi selama beberapa dekade, masalah gangguan tumbuh kembang anak akibat kekurangan gizi tetap tidak terpecahkan. “Saat pemerintah tidak bijaksana dalam membelanjakan uang, kita benar-benar mengkhawatirkan masa depan kita. Proyek (infrastruktur) besar ini juga bisa menjadi risiko bagi ekonomi sosial dan lingkungan kita,” bantahnya.

“Saya dapat mengatakan bahwa selama 2-3 tahun terakhir Timor Leste berada dalam situasi politik yang tidak menentu. Artinya pemerintah tidak menempatkan rakyat sebagai pusat pengambilan keputusan, tetapi hanya kepentingan mereka sendiri,” jelas Gomes.

Dengan pemilihan nasional yang akan segera digelar, Gomes berharap, “Orang-orang muda Timor akan memilih pemimpin yang baik (yang) lebih peduli dengan realitas kita. Saya yakin bahwa jika pemerintah (yang baru) menempatkan rakyat Timor Leste sebagai pusat pengambilan keputusan, kita dapat menyelesaikan masalah kurang gizi pada anak dan akan mempersiapkan generasi masa depan kita (untuk kehidupan yang lebih baik).”

Pemilihan Presiden Timor Leste dijadwalkan berlangsung pada 19 Maret 2022. [IDN-InDepthNews — 11 Februari 2021]

Foto: Perempuan menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan air dengan satu pompa di Batugade, Bobonaro, Timor Leste. Kredit: Annamarie Reyes

NEWSLETTER

STRIVING

MAPTING

PARTNERS

Scroll to Top